Pendahuluan
Staphylococcus
aureus merupakan
bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm,
tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif
anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak (Gambar 2.1). Bakteri
ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada
suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu
sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau.
Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai
kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetz et
al., 1995 ; Novick et al., 2000).
Gambar 1 Bentuk mikroskopis S.
aureus (Wikipedia, 2006)
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
|
Bacteria
|
Filum:
|
Firmicutes
|
Kelas:
|
|
Ordo:
|
Bacillales
|
Famili:
|
Staphylococcaceae
|
Genus:
|
Staphylococcus
|
Patogenisitas
Sebagian bakteri Stafilokokus
merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran
pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan di udara dan lingkungan
sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan hemolisis,
membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol (Warsa, 1994).
Infeksi oleh S. aureus ditandai
dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit
infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan
infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis,
meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga
merupakan penyebab utama infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma
syok toksik (Ryan, et al., 1994; Warsa, 1994).
Bisul atau abses setempat,
seperti jerawat dan borok merupakan infeksi kulit di daerah folikel rambut,
kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat. Mula-mula terjadi nekrosis jaringan
setempat, lalu terjadi koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga
terbentuk dinding yang membatasi proses nekrosis. Infeksi dapat menyebar
ke bagian tubuh lain melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah,
sehingga terjadi peradangan pada vena, trombosis, bahkan bakterimia. Bakterimia dapat
menyebabkan terjadinya endokarditis, osteomielitis akut hematogen,
meningitis atau infeksi paru-paru (Warsa, 1994; Jawetz et al., 1995).
Kontaminasi langsung S. aureus
pada luka terbuka (seperti luka pascabedah) atau infeksi setelah
trauma (seperti osteomielitis kronis setelah fraktur terbuka) dan meningitis
setelah fraktur tengkorak, merupakan penyebab infeksi nosokomial (Jawetz et
al., 1995).
Keracunan makanan dapat
disebabkan kontaminasi enterotoksin dari S. aureus. Waktu onset
dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan
banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat
menyebabkan keracunan adalah 1,0 μg/gr makanan. Gejala keracunan ditandai oleh rasa mual,
muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai
demam (Ryan, et al., 1994
; Jawetz et al., 1995).
Sindroma syok toksik (SST) pada
infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba dengan gejala demam tinggi,
muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan gagal jantung dan ginjal pada
kasus yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari permulaan haid pada wanita muda
yang menggunakan tampon, atau pada anak-anak dan pria dengan luka yang
terinfeksi stafilokokus. S. aureus dapat diisolasi dari vagina, tampon, luka atau
infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan dalam aliran darah (Jawetz et
al., 1995).
Faktor
Virulensi S. aureus
S. aureus dapat
menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui
pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor
virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya :
1. Katalase
Katalase adalah enzim yang
berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses
fagositosis. Tes adanya aktivtias
katalase menjadi pembeda egnus
Staphylococcus dari Streptococcus
(Ryan et al., 1994; Brooks et al., 1995).
2. Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan
plasma oksalat atau plasma sitrat, karena adanya faktor koagulase reaktif
dalam serum yang bereaksi dengan enzim tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk
deposit fibrin pada permukaan sel bakteri
yang dapat menghambat fagositosis
(Warsa, 1994).
3. Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang
dapat membentuk suatu zona hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin
pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisisn, dan delta
hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin yang bertanggung jawab terhadap
pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada medium agar
darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia.
Beta hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan Stafilokokus yang
diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba dan
sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel
darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel
darah merah domba (Warsa, 1994).
4. Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel
darah putih pada beberapa hewan. Tetapi perannya dalam patogenesis pada
manusia tidak jelas, karena Stafilokokus patogen tidak dapat mematikan
sel-sel darah putih manusia dan dapat difagositosis (Jawetz et al.,
1995).
5. Toksin eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas
proteolitik dan dapat melarutkan matriks mukopolisakarida epidermis,
sehingga menyebabkan pemisahan intraepitelial pada ikatan sel di stratum
granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome,
yang ditandai dengan melepuhnya kulit (Warsa, 1994).
6. Toksin Sindrom Syok Toksik
(TSST)
Sebagian besar galur S. aureus
yang diisolasi dari penderita sindrom syok toksik menghasilkan eksotoksin
pirogenik. Pada manusia, toks in ini menyebabkan demam, syok, ruam
kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh (Ryan, et al., 1994;
Jawetz et al., 1995).
7. Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang
tahan panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus. Enzim ini
merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan, terutama pada makanan
yang mengandung karbohidrat dan protein (Jawetz et al., 1995).
Pengobatan
Pengobatan terhadap infeksi S.
aureus dilakukan melalui pemberian antibiotik, yang disertai dengan
tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses maupun nekrotomi. Pemberian
antiseptik lokal sangat dibutuhkan untuk menangani furunkulosis (bisul)
yang berulang. Pada infeksi yang cukup berat, diperlukan pemberian antibiotik
secara oral atau intravena, seperti penisilin, metisillin, sefalosporin, eritromisin,
linkomisin, vankomisin, dan rifampisin. Sebagian besar galur Stafilokokus
sudah resisten terhadap berbagai antibiotik tersebut, sehingga perlu
diberikan antibiotik berspektrum lebih luas seperti kloramfenikol, amoksilin, dan
tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994; Jawetz et al., 1995).
Kloramfenikol
1. Struktur
Kimia
Kloramfenikol adalah antibiotik
yang diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari Streptomyces
venezuelae. Penggunaan obat ini meluas dengan cepat, karena mempunyai daya antibiotika
yang kuat. Pada tahun 1950, diketahui bahwa antibiotik ini dapat menimbulkan
anemia aplastik yang faatl, sehingga penggunaannya dibatasi (Mycek et
al., 1992).
Gambar 2. Struktur kimia
kloramfenikol (Depkes RI, 1995)
D-treo-(-)-2,2-Dikloro-N-[β-hidroksi-α-(hidroksimetil)-pnitrofenetil] asetamida C11H12 Cl2 N2O5 , BM 323,13
2
Farmakokinetik
Kloramfenikol yang diberikan
secara intravena maupun oral dapat diabsorpsi sempurna, karena
bersifat lipofilik. Antibiotik ini didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, termasuk
ke jaringan otak, cairan serebrospinal, dan mata. Waktu paruh kloramfenikol pada
orang dewasa kurang lebih 3 jam, sedangkan
pada bayi berumur kurang dari 2
minggu sekitar 24 jam. Sekit ar 50 % kloramfenikol dalam darah terikat
dengan albumin (Katzung, 1998).
Di dalam hati, kloramfenikol
terkonjugasi dengan asam glukuronat oleh aktivitas enzim glukuronil
transferase, sehingga waktu paruh kloramfenikol pada pasien gangguan fungsi hati dapat
diperpanjang menjadi 24 jam, sekitar 80-90 % kloramfenikol peroral
dieksresikan melalui ginjal, 5-10 % diantaranya diekskresi dalam bentuk aktif, sedang
sisanya dalam bentuk glukuronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif. Pada kasus
gagal ginjal, waktu paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak berubah, tetapi terjadi
akumulasi metabolitnya yang non toksik. Oleh karena itu, pada pasien dengan gangguan
fungsi hati dan gagal ginjal, dosis antibiotik ini perlu dikurangi (Setiabudy dkk.,
1995).
3 Mekanisme
Kerja
Kloramfenikol bekerja menghambat
sintesis protein pada sel bakteri. Kloramfenikol akan berikatan
secara reversibel dengan unit ribosom 50 S, sehingga mencegah ikatan antara
asam amino dengan ribosom. Obat ini berikatan secara spesifik dengan akseptor
(tempat ikatan awal dari amino asil t-RNA) atau pada bagian peptidil, yang
merupakan tempat ikatan kritis untuk perpanjangan rantai peptida (Setiabudy dkk,
1995; Katzung, 1998).
Gambar 3 Mekanisme kerja
kloramfenikol dalam sintesis protein (Katzung, 2004)
Keterangan : (1) tempat kerja
kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan
antibiotika dengan spektrum luas yang efektif terhadap Streptococcus
pneumoniae, Streptococcus pyogenes, Streptococcus viridans,
Haemophilus, Neisseria, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella, Chlamydia,
Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kuman anaerob seperti Bacillus
fragilitis. Kloramfenikol
umumnya bersifat bakteriostatik, tetapi pada konsentrasi tinggi kadang-kadang
bersifat bakterisidal (Setiabudy dkk, 1995; Katzung, 1998). Beberapa galur Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenza, dan Neisseria
meningitidis telah
resisten terhadap antibiotik ini. S. aureus umumnya sensitif terhadap antibiotik ini,
sedangkan kebanyakan Enterobacteriaceae telah resisten. Kebanyakan galur Seratia,
Providencia, Proteus retgerii, Pseudomonas aeruginosa dan galur
tertentu Salmonella typhi juga resisten terhadap kloramfenikol (Setiabudy dkk,
1995).
DAFTAR PUSTAKA
- Brown, T.A. 1995. Gene Cloning. 3rd Ed. London: Chapman & Hall. p. 234-237.
- Brooks, G.F., J.S. Butel, and L.N. Ornston. 1995. Medical Microbiology. 4th ed. Conecticut: Appleton & Lange, Simon & Schuster Company. p.197-202.
- Duta, G.N., Gogoi, Jully, Buragohain, and Jyoti. 2001. Inactivation of Chloramphenicol by Staphylococcus aureus biotype C from humans and animal. Avalaible at : http//www.Indian Journal of Medical Research (diakses Mei 2006)
- Fischetti, A.V., R.P. Novick, J.J. Ferreti, D.A. Portnoy, and J.I. Rood. 2000. Gram Positif. Washington DC: ASM Press. p.315
- Fluit, C. 2001. Molekular Detection of Antimicrobial Resistance. www.cmr.asm.org (diakses Desember 2005).
- Garna, H., N. Sekarwana, dan Azhali. 1989. Result of Salmonella typhi culture in Patient with Suspected Typhoid Fever. Journal Pediatrica Indonesiana. 29, hal. 105-111.
- Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N. Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa : Nugroho & R.F.Maulany). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal. 211,213,215.
- Karsinah, Lucky H.M., Suharto, dan Mardiastuti H.W. 1994. Batang Negatif Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara. hal. 161-162.
- Katzung, B.G. 1998. Basic and Clinical Pharmacology. 7th ed. USA: Prentice Hall Inc, Appleton & Lange. p.743-745.
- Madigan, M.T., J.M. Martinko, and J. Parker. 1997. Biology of Microorganism. Eight ed. USA : Simon & Schuster, A Viocom Company. p.40-43,70,878.
- Mycek, M.J., R.A. Harvey, and P.C. Champe, 1997. Inhibitor of Cell Wall Synthesis In: Pharmacology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wikins. p.297-310.
- Prescott, L.M., J.P. Harley, and D.A. Klein. 2003. Microbiology. 5th ed. New York : Mc Graw Hill. p.809.
- Retnoningrum, D.S. 1998. Mekanisme dan Deteksi Molekuler Resistensi Antibiotika pada Bakteri. Bandung: Farmasi ITB. Hal. 1-5, 16-21.
- Russell, A.D. and I. Chopra, 1990. Understanding Antimicrobial Action and Resistance. England: Ellis Horword Limited. p.58,157-159
- Ryan, K.J., J.J. Champoux, S. Falkow, J.J. Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt, and C.G. Roy. 1994. Medical Microbiology An Introduction to Infectious Diseases. 3rd ed. Connecticut: Appleton&Lange. p.254.
- Setiabudy, R. 1995. Pengantar Antimikroba. dalam: S.G. Ganiswarna, R. Setiabudy, F.D. Suyatna, dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta:Gaya Baru. hal. 571-576.
- Shanahan, P.M.A., M.V. Jesudason, C.J. Thomson, and S.G.B. Amyes. 1997. Molecular Analysis of and Identification of Antibiotic Resistance Genes in Clinical Isolates of Salmonella typhi from India. http://www. OJHAS 2004- 4-1 Shrikala Baliga, Drug Resistance in Salmonella Typhi Tip of the Iceberg.htmL (diakses November 2005).
- Sudarmono, P. 1993. Genetika dan Resistensi, Mikrobiologi Kedokteran FKUI, Jakarta : Bina Rupa Aksara. h.254.
- Tortora, G.J., B.R. Funke, and C.L. Case. 2001. Microbiology an Introduction. 7th ed. USA : Addison Wesley Longman, Inc. p.50-51,89,240.
- Warsa, U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara. hal. 103-110.
0 komentar:
Posting Komentar